Hukum Tata Negara (Kebaikan dan Kelemahan UU No.No.5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah)
Kebaikan UU No.5 Tahun 1974
Berdasarkan ketentuan UU No.5 Tahun 1974, Indonesia menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi (bagian bagian kedua tentang otonomi daerah pasal 7-12), dan tugas pembantuan (bagian ketiga tentang tugas pembantuan pasal 12) yang pengertian masing-masing asas dijelaskan dalam pasal 1. Berdasarkan asas-asas tersebut sehingga daerah dapat menjalankan otonominya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 7). Karena adanya otonomi daerah tersebut (penjelasan otonomi daerah diatur dalam pasal 2-12), pemerintah setidaknya diberi batasan kekuasaan agar tidak bertindak sewenang-wenang. Dan penyelenggaran pemerintah tidak hanya berpusat pada kekuasaan pemerintah pusat (otoriter) tetapi pemerintah daerah pun diberi kesempatan untuk menjalankan hak dan kewenangan yang lebih aspiratif atau dapat mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan daerah masing-masing agar nantinya dapat diraih kesejahteraan daerahnya.
Kelemahan UU No.5 Tahun 1974
UU No.5 Tahun 1974 menganut prinsip pemberian otonomi yang nyata dan tanggung jawab menggantikan prinsip pemberian otonomi riil dan seluas-luasnya (pasal 4). Dalam penjelasan UU No.5 Tahun 1974 mengartikan istilah ‘nyata’ sebagai pemberian otonomi kepada daerah harus didasarkan kepada faktor-faktor, perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan yang benar-benar dapat menjamin daerah tersebut secara nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri. Sedangkan ‘bertanggung jawab’ mengandung arti bahwa pemberian otonomi itu benar-benar sejalan dengan tujuannya, yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar diseluruh pelosok tanah air dan serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa yang menjamin hubungan serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta menjamin perkembangan pembangunan daerah. Walaupun sebenarnya UU No.5 Tahun 1974 mengatur otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, namun pada kenyataannya pemerintah melakukan kecenderungan melakukan sentralisasi kekuasaan, semua kewenangan ada pada pemerintah pusat dalam arti daerah terkooptasi oleh pemerintah pusat.
Pemerintah daerah adalah kepala daerah dan DPRD (pasal 13). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedudukan kepala daerah sejajar dengan DPRD. Akibatnya peran dan fungsi DPRD sebagai lembaga legislatif dan lembaga penggagas terhadap pemerintahan daerah menjadi lemah, dilain pihak kedudukan kepala daerah menjadi sangat kuat.
DPRD tidak dapat meminta pertanggungjawaban dari kepala daerah, namun hanya dapat meminta keterangan tentang laporan pertanggungjawaban (pasal 22 ayat 3). Sedangkan pertanggungjawaban kepala daerah langsung kepada presiden melalui menteri dalam negeri (pasal 22 ayat 2). Maka dari itu, jika dilihat dari pertanggungjawaban kepala daerah, fungsi kontrol DPRD menjadi lemah. Mekanisme pertanggungjawaban seperti ini terjadi kerena pengangkatan kepala daerah (bagian kelima tentang kepala daerah pasal 14-23) dilakukan secara sentralistik, dimana pemerintah pusatlah yang memiliki kewenangan untuk menetapkan seorang kepala daerah (pasal 15, pasal 16). Kewenangan DPRD hanya sebatas pada pengajuan calon kepala daerah saja, untuk selanjutnya ditetapkan oleh pemerintah pusat, akibatnya pemerintah akan menetapkan kepala daerah yang disukainya saja.
Perimbangan keuangan antara pemerintah dan daerah diatur dengan Undang-undang (pasal 57). Keuangan daerah diatur lebih jelas dalam bagian ketiga belas tentang keuangan daerah dalam pasal 55-64, dimana dapat disimpulkan bahwa dominasi pusat terhadap daerah sangat besar, sehingga asas desentralisasi yang diterapkan hampir tidak memiliki arti sama sekali.
Tinggalkan komentar
Comments 0